Sejarah Psikodiagnostik

Istilah diagnostik atau assesment sudah dikenal sejak dahulu meskipun dengan cara-cara awam. Misalnya raja-raja zaman dahulu mempunyai cara untuk menyeleksi tentara, yang dibiarkan berada dalam keadaan haus, dibawa ke suatu telaga, kemudian diobservasi bagaimana caranya mereka minum; yang minum langsung tanpa mengambil air ditangannya itulah yang dianggap paling cocok untuk perang. Cara-cara observasi, melihat data nyata, maupun wawancara terhadap orang untuk melakukan penilaian kesesuaian seseorang untuk suatu tugas merupakan “metode asesmen/ psikodiagnostik”.
Menurut sejarahnya, psikodiagnostik itu lahir dari kebutuhan klinis. Penggunaan istilah psikodiagnostik secara eksplisit mula-mula muncul ketika Herman Rorschach menerbitkan hasil penyelidikan-penyelidikannya dengan metode research dalam lapangan psikiatis dengan judul Psikodiagnostik. Metode Rorsarch ini merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui kelainan-kelainan psikis para penderita penyakit jiwa. Sejak saat inilah istilah psikodiagnostik dipopulerkan hingga saat ini.
Minat awal pada tes psikologi terjadi pada abad ke-19 yang ditandai dengan adanya pengklasifikasian antara orang gila (insane) dan orang terbelakang mental (mentally retarded). Esquirol, dokter asal Prancis menyatakan dalam bukunya bahwa orang gila menampilkan gangguan-gangguan emosi yang kadang kala disertai oleh penurunan daya intelektual dari tingkat yang semula normal; sedangkan orang terbelakang mental pada dasarnya ditandai oleh adanya kerusakan intelektual sejak lahir atau semasa kecil.
Francis Galton adalah orang yang bertanggung jawab atas peluncuran gerakan tes. Minat Galton terhadap hereditas manusialah yang menyebabkan Galton mengadakan penelitian-penelitian untuk mengukur ciri-ciri orang dan merancang alat tes-tes sederhana. Selain itu, Galton juga merintis penerapan metode skala-pemeringkatan kuesioner, mengembangkan metode statistik untuk menganalisis data tentang perbedaan individu, dan juga penggunaan teknik asosiasi bebas yang selanjutnya diterapkan tujuan.
Tes psikologi pertama kali digunakan oleh McKeen Cattel pada tahun1890.Pada saat itu ia menggunakan tes mental berdasarkan orientasi fisik semata untuk menguji intelegensi seseorang (Markam, 2005).
Binet dan rekan-rekan sekerjanya juga memainkan peran yang tak kalah pentingnya dalam dunia psikodiagnostik. Terbukti dari waktu yang telah dicurahkan selama bertahun-tahun untuk meneliti tentang cara pengukuran kecerdasan atau intelegensi. Penelitian tersebut menghasilkan skala pertama (1905) dan diberi nama skala Binet-Simon, skala ini mengalami revisi hingga 3 kali. Revisi akhir skala ini dilakukan oleh Goddard (revisi Goddard) dan sangat berpengaruh dalam penerimaan tes intelegensi oleh kalangan profesi medis. Revisi ini digunakan dalam rangka mendiagnosis dan mengklasifikasikan orang-orang yang terbelakang mental. Disisi lain, Stanford-Binet yang dikembangkan oleh L.M Terman dan kolega-koleganya di Stanford University juga merupakan instrumen yang lebih luas dan lebih baik secara psikometris. Dalam tes inilah istilah IQ (Intellegent Quotient) mulai diperkenalkan.

Psikodiagnostik: Sebuah Rahasia (?)



Buku dan ebook yang membahas soal-soal psikotes, tips lolos seleksi psikotes, dan yang semacamnya sudah sering beredar di toko buku ataupun di dunia maya. Sebenarnya ingin sekali membeli dan mempelajari, apa yang dijual oleh buku atau ebook tersebut. Beberapa ada yang menjual gelar sarjana psikologi bahkan master psikologi sebagai penulis buku, ditambah testimoni dari pembeli yang mengatakan sukses lolos psikotes berkat buku tersebut.

Ketika mengetik kata kunci beberapa tes psikologis di internet, cukup banyak web dan blog yang membahasnya. Ada beberapa yang memberikan tips pengerjaan dan hasil scan dari sebuah alat tes. Beberapa lainnya hanya menuliskan gambaran umum alat tes, dan meluruskan pandangan orang awam. Satu hal yang menarik, sempat ada sebuah link yang mengarah pada dokumen diktat kuliah tes grafis milik fakultas psikologi sebuah universitas. Dalam dokumen tersebut setiap lembarnya diberi kaliamt peringatan untuk tidak mempublikasikan dan menyebarkan diktat tersebut ke khalayak umum. Aneh. Justru dokumen tersebut terbuka luas di internet tanpa pengamanan.

Saya sering bertanya sendiri, sejauh mana sebuah alat tes dapat dijelaskan di muka umum. Beberapa rekan menyebutkan tidak satu senti pun harus dijelaskan. Orang awam perlu tahu sebuah alat tes ketika mereka akan mengerjakannya. Namun ada yang beranggapan bahwa suatu saat alat tes akan berdiri mandiri dan dapat dikerjakan oleh semua orang. Tugas psikolog adalah memberikan penjelasan dari hail tes tersebut dan yang terpenting memberi saran apa yang harus dilakukan berikutnya.

Pandangan terakhir tersebut bertitik tolak dari profesi dokter. Misalnya alat tes kehamilan kini sudah  berdiri mandiri, namun tetap saja orang yang hamil akan pergi ke dokter kandungan. Alat pngukur gula darah sudah beredar luas, dan dokter penyakit dalam tetap menerima pasien DM. Akan ada kemungkinan alat tes psikologi berdiri mandiri dan dapat mengukur dinamika psikologis seseorang. Namun yang dapat mengartikan lebih jelas dan memberi penanganan tetaplah psikolog, dan pasti psikolog akan lebih dicari.

Hitam putih penjelasan alat tes psikologis sebagian besar berada dalam ranah seleksi. Entah seleksi karyawan, promosi, ataupun seleksi untuk masuk ke tingkat pendidikan tertentu. Pemahaman bahwa psikotes dalam seleksi bertujuan membantu menempatkan orang yang tepat sesuai kapabilitas, tampaknya tak menyentuh masyarakat. Masih ada segelintir orang yang berupaya mencari celah mengakali psikotes.

Hal yang menarik adalah ada psikolog yang kelimpungan bagai kehilangan senjata ketika tahu ada pihak-pihak yang menyebarluaskan alat tes. Menurut saya, justru kehebatan sebuah alat tes beserta psikolognya adalah kita mudah mengetahui ketika seseorang melakukan faking. Seseorang yang menjadi sangat sempurna dalam hasil pembacaan psikotes justru bisa menjadi indikasi telah terjadi sesuatu. Psikotes bukanlah ujian nasional yang jika mendapat nilai 10 semua bertepuk tangan.

Bahkan dalam tes kecerdasan, jika ada peserta yang mendapat pembacaam IQ diatas 120, tentunya akan mudah dilihat dalam riwayat hidupnya, dilihat dari tes kepribadiannya, dan dilihat dari wawancara. Mudah. Faking satu alat tes tak berarti bisa mengelabui alat tes lainnya.
 
Free Website templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates